Rabu, 21 Januari 2015

APRESIASI SASTRA DAN APRESIASI DRAMA



A.  Pengertian Sastra
Banyak sekali para ahli yang mendefinisikan pengertian mengenai sastra, Mursal Ensten mendefinisikan “Sastra atau Kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).” (1978:9).
Di sisi lain semi mengungkapkan  “Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.” (1988:8). Panuti Sudjiman mendefinisikan “Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam bagian isi, dan ungkapannya.” (1986:68).
Plato dan Aristoteles mempunyai definisi tersendiri mengenai sastra, menurut Plato “Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide.” Sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat.” diungkapkan oleh Aristoteles.
Menurut Engleton sendiri (1988:4), sastra yang disebutnya adalah “Karya tulisan yang halus” (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjang tipiskan dan diterbitkan, dijadikan ganjil”
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat didefinisikansastra merupakan suatu bentuk karya seni baik berupa lisan maupun tulisan yang berisi nilai-nilai dan unsur tertentu lainnya yang bersifat imaginatif.

B.  Sejarah Singkat Sastra Indonesia
1.    Awal Periode Sastra
Bentuk-bentuk karya sastra yang kita lihat dan kita kenal dimulai dari periode Pujangga Baru yang banyak dipengaruhi oleh sastra Eropa. Pengaruh itu sangat terasa terutama pada karya-karya Chairil Anwar yang dianggap kontroversial pada waktu itu.
Kenyataan tersebut makin diperkuat akan pendek jarak waktu antara angkatan satu dengan angkatan berikutnya. Misalnya ada Angkatan 1966 setelah Angkatan 1945. Sangat pendek, hanya berjarak 11 tahun. Perkembangan sepesat ini hanya terjadi apabila sastrawan-sastrawan Indonesia terpengaruh oleh perkembangan sastra dunia.
Dengan demikian, pengertian sastra Indonesia adalah bentuk pengungkapan gagasan, pikiran, dan pengucapan sastra orang Indonesia, menggunakan bahasa Indonesia, baik sastra itu dipengaruhi oleh sastra asing atau tidak.

2.    Perkembangan Sastra Indonesia
Sejarah perkembangan sastra Indonesia dimulai pada abad ke-20 yang diawali oleh kehadiran karya-karya dari pengarang Balai Pustaka. Adapun karya-karya yang lahir sebelum periode tersebut digolongkan ke dalam sastra Melayu. Perkembangan sastra Indonesia secara garis besar terbagi dalam angkatan-angkatan berikut.
a.    Angkatan Balai Pustaka (tahun 1920-an)
Pada tahun 1908, kolonial Belanda  mendirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie de Volkslectur)  yang bertugas menyediakan bahan-bahan bacaan bagi rakyat Indonesia. Pada tahun 1917, nama komisi tersebut berubah menjadi /Balai Pustaka/. Dengan berdirinya penerbitan tersebut telah mendorong para penulis Indonesia untuk berkarya.
Nama-nama pengarang dan karyanya pada periode awal ini adalah sebagai berikut.
·    Merari Siregar dengan karya Azab dan Sengsara
·    Marah Rusli dengan karya Siti Nurbaya
·    Abdul Musi dengan karya Salah Asuhan
·   Sutan Takdir Alisyahbana Tak Putus Dirundung Malang, dan lain-lain
Tema ceritapada periode ini berkisar pada peristiwa sosial, kehidupanadat-istiadat, kehidupan beragama, dan peristiwa kehidupan masyarakat.Karya waktu itu cenderung berbentuk roman.

b.    Angkatan Pujangga Baru (1933-1942)
Angkatan ini dipelopori oleh empat serangkai. Yaitu Sutan TakdirAlisyahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, dan Amir Hamzah.Karya sastra yang muncul sebagian besar berbentuk sajak, cerpen, novel, roman, dan drama. Karya padaangkatan ini antara lain sebagai berikut.
·    Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana
·    Belenggu karya Armijn Pane
·    Katak Hendak Jadi Lembu karya Nur Sura Iskandar, dan lain-lain

c.    Angkatan 45
Ciri khas karyasastra angkatan 45 lebih bebas, namun ditekankan pada isinya. Kalimat-kalimatnya pendek dan tidak menggunakan bahasa yang klise.Isinya pun bersifat realisme.
Pengarang-pengarang yang terkenal pada masa ini antara lain Idrus,Chairil Anwar, Rosihan Anwar, Usmar Ismail, dan lain-lain. Karya yang muncul antara lain Atheis, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, danlain-lain.

d.   Angkatan 66
Angkatan 66 diperkenalkan oleh HB Jassin dalam bukunya yang berjudulAngkatan 66. Angkatan ini muncul berbarengan dengan adanya kekacauanpolitikakibat adanya pemberontakan G-30S/PKI.
Karya-karya yang diterbitkan antara lain sebagai berikut.
·    Pagar Kawat Berduri karya Toha Mochtar
·    Tirani karya Taufik Ismail
·    Hati yang Damai karya N.H. Dini
·    Malam Jahanam karya Motinggo Boesje, dan lain-lain.

e.    Karya Sastra Kontemporer
Karya sastra kontemporer berawal padatahun 1970-an. Pada waktu itu situasi politik sudah mereda. Situasisosial dan ekonomi mulai menunjukkan perbaikan sehingga berpengaruhbesar terhadap perkembangan sektor-sektor kebudayaan. 
Kebebasan berekspresi mulai tumbuh dan berkembang sehingga melahirkan berbagai gerakanpembaruan dalam bidang sastra. Gerakan pembaruan dalam bidang sastra ini terutama ditandai oleh munculnya puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang mengutamakan bunyi daripada kekuatan maknakata. Sampai saat ini, sastra Indonesia semakin berkembang denganlahirnya pengarang-pengarang muda dan karyanya.

C.  Jenis-Jenis Karya Sastra di Indonesia
Karya sastra di Indonesia berdasarkan bentuknya dibagi menjadi dua macam yaitu prosa dan puisi. Lalu prosa dan puisi ini dibagi lagi menjadi dua kategori yaitu prosa dan puisi lama dan modern.
Ciri-ciri sastra lama:
1.    Bersifat statis
2.    Tema ceritanya istana sentris
3.    Nama pengarang tidak disebutkan atau disebut juga anonim
4.    Menggunakan bahasa melayu kuno yang penuh dengan pepatah serta ungkapan yang panjang-panjang dan klise
5.    Banyak yang berisi hal-hal yang fantastis (Diana Leroy, 2003:45) Contoh sastra lama: fabel, sage, syair, gurindam, dll.
Dalam sastra modern karya sastra tersebut telah dipengaruhi oleh karya sastra asing sehingga sudah tidak asli lagi. Dan dalam karya sastra modern pengarang sudah dikenal oleh masyarakat luas, bahasanya sudah tidak klise dan bersifat dinamis, temanya pun bersifat rasional dan bersifat modern/tidak kedaerahan. Contoh sastra modern: novel, biografi, cerpen, drama, dll.

D.  Drama dan Apresiasi Drama
1.    Hakikat Drama
Pengertian tentang drama yang dikenal selama ini menyebutkan bahwa drama adalah cerita atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan (Efendi, 2002:1). Kata drama berasal dari kata Yunani draomi yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya (Harymawan, 1988:1 via Efendi, 2002:1). Jadi kata drama berarti perbuatan atau tindakan.
Sebagai suatu genre sastra drama mempunyai kekhususan dibanding dengan genre puisi ataupun genre fiksi. Kekhususan drama disebabkan tujuan drama ditulis pengarangnya tidak hanya berhenti sampai pada tahap pembeberan peristiwa untuk dinikmati secara artistik imajinatif oleh para pembacanya, namun mesti diteruskan untuk kemungkinan dapat dipertonto nkan dalam suatu penampilan gerak dan perilaku konkret yang dapat disaksikan. Kekhususan drama inilah yang kemudian menyebabkan pengertian drama sebagai suatu genre sastra lebih berfokus sebagai suatu karya yang lebih berorientasi kepada seni pertunjukan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Efendi (2002:1).
Menurut Wiyatmi (2006: 43 - 44) drama itu berbeda dengan prosa cerita dan puisi karena drama dimaksudkan untuk dipentaskan. Pementasan itu memberikan kepada drama sebuah penafsiran kedua. Sang sutradara dan para pemain menafsirkan teks, sedangkan para penonton menafsirkan versi yang telah ditafsirkan oleh para pemain. Pembaca yang membaca teks drama tanpa menyaksikan pementasannya mau tidak mau harus membayangkan jalur peristiwa di atas panggung.
Sebagai sebuah karya yang mempunyai dua dimensi, dimensi sastra sebagai teks dan dimensi seni pertunjukkan, maka pementasan drama harus dianggap sebagai penafsiran dari penafsiran yang telah ada yang dapat ditarik dari suatu karya drama. Dengan kata lain penafsiran itu memberikan kepada drama sebuah penafsiran kedua (Luxemburg, 1984:158 via Efendi 2002:1). Maksud dari pernyataan ini adalah, pementasan baru dimungkinkan terjadi jika teks drama telah dan ditafsirkan oleh sutradara dan para pemain untuk kepentingan suatu seni peran yang didukung oleh perangkat panggung seperti dekor, kostum, tata panggung, tata rias, tata cahaya, dan tata musik. Jadi pada hakikatnya drama terbagai menjadi dua yaitu drama sebagai teks dan drama sebagai seni pertunjukkan.
Teks drama merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan dengan puisi dan prosa, sedangkan pementasan drama adalah salah satu jenis kesenian mandiriyang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu,seni lukis (dekorasi dan panggung), seni kostum, seni rias, seni tari, dan lain sebagainya. Jika kita membicarkan pementasan drama, maka kita dapat mengarahkan ingatan pada wayang, ludruk, ketoprak, lenong, dan film.
Dalam kaitannya dengan pendidikan watak, drama juga dapat membantu mengembangkan nilai-nilai yang ada dalam diri peserta didik, memperkenalkan rentang kehidupan manusia dari kebahagiaan, keberhasilan, kepuasan, kegembiraan, cinta, ketakutan, keputusasaan, acuh tak acuh,benci, kehancuran dan kematian.
Drama juga dapat memberikan sumbangan pada pengembangan kepribadian yang kompleks, misalnya ketegaran hati, imajinasi, dan kreativitas (Endraswara 2005:192).

2.    Hakikat Apresiasi Drama
a.    Pengertian Apresiasi Drama
Yang dimaksud dengan apresiasi drama ialah kegiatan membaca, menonton, menghayati, memahami, atau menghargai karya drama (Efendi, 2002: 3). Dengan mengapresiasi drama diharapakan kita akan bisa menghayati karakter tokoh – tokoh drama.
Dengan menghayati tokoh dan perkembangan permasalahan dalam drama, pembaca dapat memahami dengan baik keputusan-keputusan yang diambil oleh tokoh drama, perkembangan karakter tokoh, dan motivasi yang mendorong sang tokoh untuk bertindak sesuatu. Dengan pemahaman seperti inilah, sang apresiator dapat memberikan penghargaan secara tepat atas karya drama yang dibacanya.
b.    Persiapan Apresiator Drama
Kegiatan mengapresiasi drama akan berlangsung optimal kalau apresiator mempunyai bekal yang memadai untuk melakukannya. Semakin lengkap dan maksimal bekalnya, akan semakin baik kegiatan apresiasi yang dilakukannya. Bekal yang dimaksud adalah: (1) bekal pengetahuan, (2) bekal pengalaman, dan (3) bekal kesiapan diri.
Menurut Efendi (2002: 7), mengatakan bahwa seorang apresiator yang memiliki bekal pengetahuan yang luas dan mendalam akan mampu mengapresiasi sebuah karya drama secara mendalam. Sebaliknya, seorang apresiator yang memiliki bekal pengetahuan yang sempit dan terbatas tentu hanya akan mampu mengapresiasi sebuah karya drama secara dangkal pula. Bekal pengetahuan tersebut meliputi: (1) pengetahuan tentang drama, (2) pengetahuan tentang manusia, (3) pengatahuan tentang kehidupan, dan (4) pengetahuan tentang bahasa.
Seorang apresiator drama idealnya, memiliki pengetahuan yang memadai tentang drama, misalnya pengertian drama, unsur-unsur pembentuk drama, jenis-Jenis drama, sejarah perkembangan drama, dan pementasan drama (teater). Pengetahuan tentang pengertian drama akan memberikan wawasan kepada apresiator bahwa drama berbeda dengan fiksi (cerita). Dengan demikian, ia pun akan memperlakukan karya drama berbeda dengan karya fiksi.
Seorang apresiator juga dituntut untuk memiliki bekal kesiapan diri yang baik pula. Kesiapan diri sang apresiator itu meliputi kesiapan fisik dan kejiwaan. Kesiapan fisik meliputi kesehatan dan kebugaran sang apresiator. Sebab dalam keadaan sakit atau lelah seorang apresiator tidak akan mampu mengerahkan seluruh kemampuannya dengan baik. Dengan demikian sang apresiator tidak akan mampu menghadapi karya yang dibacanya secara optimal.
Tidak hanya kesiapan fisik dan jiwa, tetapi bekal kesiapan akal pikiran sangat penting, karena hanya dengan kesipan akal pikiran yang prima itulah sang apresiator mampu memikirkan segala yang ditemukannya dalam drama secara kritis dan objektif. Hal itulah yang akan membawa sang apresiator pada tingkat pemahaman drama yang mendalam dan utuh.

E.  Pendekatan Apresiasi Drama
Terdapat empat pendekatan yang bisa digunakan dalam mengapresiasi drama, yaitu: (1) pendekatan objektif, (2) pendekatan mimesis, (3) pendekatan genetis, dan (4) pendekatan pragmatis (Efendi, 2002:10-11).
Pendekatan objektif ialah pendekatan yang memandang karya drama sebagai karya yang sudah utuh dan mandiri. Artinya karya drama dapat dibaca dan dipahami tanpa harus mengaitkan dengan semesta (kehidupan di sekitar kita) sebagai sumber penciptaanya, dan masyarakat pembaca sebagai penikmatnya. Menurut pendekatan ini karya drama dapat dipahami hanya dengan membaca naskah itu sendiri.
Pendekatan mimesis ialah pendekatan yang memandang karya drama sebagai hasil cipta manusia yang ditulis berdasarkan bahan-bahan yang diangkat dari semesta (pengalaman hidup penulis atau hasil penghayatan penulis atas kehidupan di sekitarnya). Untuk itu, sebuah karya drama mustahil dipahami tanpa mengaitkannya dengan semesta sebagai sumber penciptaannya. Dengan kata lain, untuk dapat memahami drama secara mendalam diperlukan kegiatan mendialogkan secara terus-menerus antara penghayatan dan pemahaman terhadap apa yang ditulis penulis dalam drama yang dibaca dengan pengetahuan dan pengalaman hidup sang apresiator (Efendi, 2002: 11).
Pendekatan genetis adalah pendekatan yang memandang karya drama sebagai hasil cipta seorang penulis drama. Untuk itu pemahaman atas karya tersebut tidak mungkin dilakukan tanpa mengaitkannya dengan si penulisnya itu sendiri. Dengan demikian, untuk bisa memahami dengan baik dan mendalam sebuah naskah drama, sang apresiator perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang penulis drama tersebut.
Pendekatan pragmatis ialah pendekatan yang memandang karya drama sebagai sesuatu yang baru bermakna kalau sudah berhadapan dengan masyarakat pembaca atau penonton. Karya drama baru punya nilai kalau dapat diterima oleh masyarakat pembacanya. Agar dapat diterima dengan baik oleh masyarakat pembaca, sebuah karya drama harus mempunyai makna bagi masyarakat pembacanya, mempunyai manfaat tertentu bagi pembacanya. Manfaat karya drama tersebut bagi masyarakat pembacanya antara lain, menghibur, dapat memberikan tambahan pengetahuan atau pengalaman tertentu kepada pembaca, atau dapat menjadi media berkaca diri bagi pembacanya.

F.   Kegiatan dalam Mengapresiasi Drama
Kegiatan apresiasi drama secara umum dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yakni kegiatan (1) apresiasi secara reseptif, dan (2) apresiasi drama secara produktif (Efendi, 2002:13). Dalam apresiasi drama secara reseptif fokus kegiatan adalah pada pemahaman dan penghayatan karya drama. Sementara dalam kegiatan apresiasi drama secara produktif fokus utamanya adalah pada pemahaman dan pemberian tanggapan terhadap karya drama, misalnya dalam bentuk pemberian tanggapan secara tertulis.
Apresiasi drama secara produktif lebih lanjut juga dapat dihubungkan dengan kegiatan pementasan drama sebagai kegiatan yang bukan semata-mata bersifat produktif tetapi juga rekreatif. Disebut juga bersifat rekreatif karena dalam pementasan tersebut seseorang bukan sekedar berperan sebagai penikmat tetapi juga berperan dalam mengkreasikan ulang karya drama dari karya naskah menjadi karya pentas. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Efendi (2002: 13).
Menurut Efendi (2002: 13-14) mengatakan bahwa ditinjau dari aktivitas batiniahnya, terdapat tiga tahapan pokok dalam mengapresiasi drama, yaitu (1) keterlibatan jiwa sang apreisator, (2) pemahaman dan penghargaan terhadap cara-cara penulisan yang digunakan oleh sang penulis, dan (3) pendialogan antara hasil pemahamannya terhadap drama yang dibaca dengan hasil pengamatan, penghayatan, dan pemahamannya terhadap kehidupan sekitarnya. Keterlibatan jiwa sang apresiator ini penting agar sang apresiator dapat merasakan dengan baik ucapan tokoh, pemikiran tokoh, tindakan, dan sikap tokoh dalam menghadapi perubahan karakter tokoh, dan nasib yang dialami oleh seorang tokoh.
Pengahayatan yang mendalam terhadap segala yang terjadi dan terdapat dalam karya drama sebaiknya tidak membuat sang apresiator larut. Larut jiwa sang apresiator akan membuat sang apresiator tidak bisa bersikap kritis terhadap apa yang dibacanya. Larutnya kejiwaan hanya akan membuat sang apresiator menangis, tertawa, sedih, atau jengkel, tetapi tidak mampu memberikan penilaian terhadap drama yang dibacanya secara kritis dan objektif. Sementara itu, untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan mendalam terhadap sebuah karya drama sikap objektif dan kritis sangat diperlukan.
Sikap objektif dan kritis hanya bisa dilakukan oleh sang apresiator kalau sang apresiator tetap bisa menjaga kesadarannya selama membaca drama tersebut. Sebab, dengan kesadaran yang penuh sang apresiator dapat selalu menggunakan pengtahuan, pengalaman, dan pikirannya untuk menilai dan mengkritisi segala hal yang ditemukan dalam drama yang dibacanya (Efendi, 2002: 14).

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

About Me

About Me