A. Pengertian
Sastra
Banyak
sekali para ahli yang mendefinisikan pengertian mengenai sastra, Mursal Ensten
mendefinisikan “Sastra atau Kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta
artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat)
melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan
manusia (kemanusiaan).” (1978:9).
Di
sisi lain semi mengungkapkan “Sastra adalah suatu bentuk dan hasil
pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan menggunakan
bahasa sebagai mediumnya.” (1988:8). Panuti Sudjiman mendefinisikan “Sastra
sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti
keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam bagian isi, dan ungkapannya.”
(1986:68).
Plato
dan Aristoteles mempunyai definisi tersendiri mengenai sastra, menurut Plato
“Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah
karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan
model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari
dunia ide.” Sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan
filsafat.” diungkapkan oleh Aristoteles.
Menurut
Engleton sendiri (1988:4), sastra yang disebutnya adalah “Karya tulisan yang
halus” (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa harian dalam
berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjang
tipiskan dan diterbitkan, dijadikan ganjil”
Dari
beberapa definisi di atas, maka dapat didefinisikansastra merupakan suatu
bentuk karya seni baik berupa lisan maupun tulisan yang berisi nilai-nilai dan
unsur tertentu lainnya yang bersifat imaginatif.
B.
Sejarah Singkat Sastra Indonesia
1.
Awal Periode Sastra
Bentuk-bentuk karya sastra yang kita
lihat dan kita kenal dimulai dari periode Pujangga Baru yang banyak dipengaruhi
oleh sastra Eropa. Pengaruh itu sangat terasa terutama pada karya-karya Chairil
Anwar yang dianggap kontroversial pada waktu itu.
Kenyataan tersebut makin diperkuat
akan pendek jarak waktu antara angkatan satu dengan angkatan berikutnya.
Misalnya ada Angkatan 1966 setelah Angkatan 1945. Sangat pendek, hanya berjarak
11 tahun. Perkembangan sepesat ini hanya terjadi apabila sastrawan-sastrawan
Indonesia terpengaruh oleh perkembangan sastra dunia.
Dengan demikian, pengertian sastra
Indonesia adalah bentuk pengungkapan gagasan, pikiran, dan pengucapan sastra
orang Indonesia, menggunakan bahasa Indonesia, baik sastra itu dipengaruhi oleh
sastra asing atau tidak.
2.
Perkembangan Sastra Indonesia
Sejarah perkembangan sastra
Indonesia dimulai pada abad ke-20 yang diawali oleh kehadiran karya-karya dari
pengarang Balai Pustaka. Adapun karya-karya yang lahir sebelum periode tersebut
digolongkan ke dalam sastra Melayu. Perkembangan sastra Indonesia secara garis
besar terbagi dalam angkatan-angkatan berikut.
a. Angkatan Balai Pustaka (tahun
1920-an)
Pada tahun 1908, kolonial Belanda
mendirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie de Volkslectur) yang
bertugas menyediakan bahan-bahan bacaan bagi rakyat Indonesia. Pada tahun 1917,
nama komisi tersebut berubah menjadi /Balai Pustaka/. Dengan berdirinya
penerbitan tersebut telah mendorong para penulis Indonesia untuk berkarya.
Nama-nama pengarang dan karyanya
pada periode awal ini adalah sebagai berikut.
· Merari Siregar dengan karya Azab dan Sengsara
· Marah Rusli dengan karya Siti Nurbaya
· Abdul Musi dengan karya Salah Asuhan
· Sutan Takdir Alisyahbana Tak Putus Dirundung Malang, dan
lain-lain
Tema ceritapada periode ini berkisar
pada peristiwa sosial, kehidupanadat-istiadat, kehidupan beragama, dan
peristiwa kehidupan masyarakat.Karya waktu itu cenderung berbentuk roman.
b.
Angkatan
Pujangga Baru (1933-1942)
Angkatan ini dipelopori oleh empat
serangkai. Yaitu Sutan TakdirAlisyahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, dan Amir
Hamzah.Karya sastra yang muncul sebagian besar berbentuk sajak, cerpen, novel,
roman, dan drama. Karya padaangkatan ini antara lain sebagai berikut.
· Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana
· Belenggu karya Armijn Pane
· Katak Hendak Jadi Lembu karya Nur Sura Iskandar, dan
lain-lain
c.
Angkatan
45
Ciri khas karyasastra angkatan 45
lebih bebas, namun ditekankan pada isinya. Kalimat-kalimatnya pendek dan tidak
menggunakan bahasa yang klise.Isinya pun bersifat realisme.
Pengarang-pengarang yang terkenal
pada masa ini antara lain Idrus,Chairil Anwar, Rosihan Anwar, Usmar Ismail, dan
lain-lain. Karya yang muncul antara lain Atheis, Dari Ave Maria ke Jalan Lain
ke Roma, danlain-lain.
d. Angkatan 66
Angkatan 66 diperkenalkan oleh HB
Jassin dalam bukunya yang berjudulAngkatan 66. Angkatan ini muncul berbarengan
dengan adanya kekacauanpolitikakibat adanya pemberontakan G-30S/PKI.
Karya-karya yang diterbitkan antara
lain sebagai berikut.
· Pagar Kawat Berduri karya Toha Mochtar
· Tirani karya Taufik Ismail
· Hati yang Damai karya N.H. Dini
· Malam Jahanam karya Motinggo Boesje, dan lain-lain.
e. Karya Sastra Kontemporer
Karya sastra kontemporer berawal
padatahun 1970-an. Pada waktu itu situasi politik sudah mereda. Situasisosial
dan ekonomi mulai menunjukkan perbaikan sehingga berpengaruhbesar terhadap
perkembangan sektor-sektor kebudayaan.
Kebebasan berekspresi mulai tumbuh
dan berkembang sehingga melahirkan berbagai gerakanpembaruan dalam bidang
sastra. Gerakan pembaruan dalam bidang sastra ini terutama ditandai oleh
munculnya puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang mengutamakan bunyi daripada
kekuatan maknakata. Sampai saat ini, sastra Indonesia semakin berkembang denganlahirnya
pengarang-pengarang muda dan karyanya.
C. Jenis-Jenis
Karya Sastra di Indonesia
Karya
sastra di Indonesia berdasarkan bentuknya dibagi menjadi dua macam yaitu prosa
dan puisi. Lalu prosa dan puisi ini dibagi lagi menjadi dua kategori yaitu prosa
dan puisi lama dan modern.
Ciri-ciri sastra lama:
1. Bersifat statis
2. Tema ceritanya istana sentris
3. Nama pengarang tidak disebutkan atau
disebut juga anonim
4. Menggunakan bahasa melayu kuno yang
penuh dengan pepatah serta ungkapan yang panjang-panjang dan klise
5. Banyak yang berisi hal-hal yang
fantastis (Diana Leroy, 2003:45) Contoh sastra
lama: fabel, sage, syair, gurindam, dll.
Dalam
sastra modern karya sastra tersebut telah dipengaruhi oleh karya sastra asing
sehingga sudah tidak asli lagi. Dan dalam karya sastra modern pengarang sudah
dikenal oleh masyarakat luas, bahasanya sudah tidak klise dan bersifat dinamis,
temanya pun bersifat rasional dan bersifat modern/tidak kedaerahan. Contoh
sastra modern: novel, biografi, cerpen, drama, dll.
D.
Drama dan Apresiasi Drama
1.
Hakikat Drama
Pengertian
tentang drama yang dikenal selama ini menyebutkan bahwa drama adalah cerita
atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan (Efendi, 2002:1). Kata drama berasal
dari kata Yunani draomi yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan
sebagainya (Harymawan, 1988:1 via Efendi, 2002:1). Jadi kata drama berarti
perbuatan atau tindakan.
Sebagai
suatu genre sastra drama mempunyai kekhususan dibanding dengan genre puisi
ataupun genre fiksi. Kekhususan drama disebabkan tujuan drama ditulis pengarangnya
tidak hanya berhenti sampai pada tahap pembeberan peristiwa untuk dinikmati
secara artistik imajinatif oleh para pembacanya, namun mesti diteruskan untuk kemungkinan
dapat dipertonto nkan dalam suatu penampilan gerak dan perilaku konkret yang
dapat disaksikan. Kekhususan drama inilah yang kemudian menyebabkan pengertian
drama sebagai suatu genre sastra lebih berfokus sebagai suatu karya yang lebih
berorientasi kepada seni pertunjukan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan
Efendi (2002:1).
Menurut
Wiyatmi (2006: 43 - 44) drama itu berbeda dengan prosa cerita dan puisi karena
drama dimaksudkan untuk dipentaskan. Pementasan itu memberikan kepada drama
sebuah penafsiran kedua. Sang sutradara dan para pemain menafsirkan teks,
sedangkan para penonton menafsirkan versi yang telah ditafsirkan oleh para pemain.
Pembaca yang membaca teks drama tanpa menyaksikan pementasannya mau tidak mau
harus membayangkan jalur peristiwa di atas panggung.
Sebagai
sebuah karya yang mempunyai dua dimensi, dimensi sastra sebagai teks dan
dimensi seni pertunjukkan, maka pementasan drama harus dianggap sebagai penafsiran
dari penafsiran yang telah ada yang dapat ditarik dari suatu karya drama. Dengan
kata lain penafsiran itu memberikan kepada drama sebuah penafsiran kedua (Luxemburg,
1984:158 via Efendi 2002:1). Maksud dari pernyataan ini adalah, pementasan baru
dimungkinkan terjadi jika teks drama telah dan ditafsirkan oleh sutradara dan
para pemain untuk kepentingan suatu seni peran yang didukung oleh perangkat
panggung seperti dekor, kostum, tata panggung, tata rias, tata cahaya, dan tata
musik. Jadi pada hakikatnya drama terbagai menjadi dua yaitu drama sebagai teks
dan drama sebagai seni pertunjukkan.
Teks
drama merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan dengan puisi dan
prosa, sedangkan pementasan drama adalah salah satu jenis kesenian mandiriyang
merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata
lampu,seni lukis (dekorasi dan panggung), seni kostum, seni rias, seni tari,
dan lain sebagainya. Jika kita membicarkan pementasan drama, maka kita dapat mengarahkan
ingatan pada wayang, ludruk, ketoprak, lenong, dan film.
Dalam
kaitannya dengan pendidikan watak, drama juga dapat membantu mengembangkan
nilai-nilai yang ada dalam diri peserta didik, memperkenalkan rentang kehidupan
manusia dari kebahagiaan, keberhasilan, kepuasan, kegembiraan, cinta,
ketakutan, keputusasaan, acuh tak acuh,benci, kehancuran dan kematian.
Drama
juga dapat memberikan sumbangan pada pengembangan kepribadian yang kompleks,
misalnya ketegaran hati, imajinasi, dan kreativitas (Endraswara 2005:192).
2.
Hakikat Apresiasi Drama
a. Pengertian Apresiasi Drama
Yang
dimaksud dengan apresiasi drama ialah kegiatan membaca, menonton, menghayati,
memahami, atau menghargai karya drama (Efendi, 2002: 3). Dengan mengapresiasi
drama diharapakan kita akan bisa menghayati karakter tokoh – tokoh drama.
Dengan
menghayati tokoh dan perkembangan permasalahan dalam drama, pembaca dapat
memahami dengan baik keputusan-keputusan yang diambil oleh tokoh drama,
perkembangan karakter tokoh, dan motivasi yang mendorong sang tokoh untuk
bertindak sesuatu. Dengan pemahaman seperti inilah, sang apresiator dapat memberikan
penghargaan secara tepat atas karya drama yang dibacanya.
b. Persiapan Apresiator Drama
Kegiatan
mengapresiasi drama akan berlangsung optimal kalau apresiator mempunyai bekal
yang memadai untuk melakukannya. Semakin lengkap dan maksimal bekalnya, akan
semakin baik kegiatan apresiasi yang dilakukannya. Bekal yang dimaksud adalah:
(1) bekal pengetahuan, (2) bekal pengalaman, dan (3) bekal kesiapan diri.
Menurut
Efendi (2002: 7), mengatakan bahwa seorang apresiator yang memiliki bekal
pengetahuan yang luas dan mendalam akan mampu mengapresiasi sebuah karya drama
secara mendalam. Sebaliknya, seorang apresiator yang memiliki bekal pengetahuan
yang sempit dan terbatas tentu hanya akan mampu mengapresiasi sebuah karya
drama secara dangkal pula. Bekal pengetahuan tersebut meliputi: (1) pengetahuan
tentang drama, (2) pengetahuan tentang manusia, (3) pengatahuan tentang
kehidupan, dan (4) pengetahuan tentang bahasa.
Seorang
apresiator drama idealnya, memiliki pengetahuan yang memadai tentang drama,
misalnya pengertian drama, unsur-unsur pembentuk drama, jenis-Jenis drama,
sejarah perkembangan drama, dan pementasan drama (teater). Pengetahuan tentang
pengertian drama akan memberikan wawasan kepada apresiator bahwa drama berbeda
dengan fiksi (cerita). Dengan demikian, ia pun akan memperlakukan karya drama
berbeda dengan karya fiksi.
Seorang
apresiator juga dituntut untuk memiliki bekal kesiapan diri yang baik pula.
Kesiapan diri sang apresiator itu meliputi kesiapan fisik dan kejiwaan.
Kesiapan fisik meliputi kesehatan dan kebugaran sang apresiator. Sebab dalam
keadaan sakit atau lelah seorang apresiator tidak akan mampu mengerahkan
seluruh kemampuannya dengan baik. Dengan demikian sang apresiator tidak akan
mampu menghadapi karya yang dibacanya secara optimal.
Tidak
hanya kesiapan fisik dan jiwa, tetapi bekal kesiapan akal pikiran sangat penting,
karena hanya dengan kesipan akal pikiran yang prima itulah sang apresiator mampu
memikirkan segala yang ditemukannya dalam drama secara kritis dan objektif. Hal
itulah yang akan membawa sang apresiator pada tingkat pemahaman drama yang
mendalam dan utuh.
E. Pendekatan
Apresiasi Drama
Terdapat
empat pendekatan yang bisa digunakan dalam mengapresiasi drama, yaitu: (1)
pendekatan objektif, (2) pendekatan mimesis, (3) pendekatan genetis, dan (4)
pendekatan pragmatis (Efendi, 2002:10-11).
Pendekatan
objektif ialah pendekatan yang memandang karya drama sebagai karya yang sudah
utuh dan mandiri. Artinya karya drama dapat dibaca dan dipahami tanpa harus
mengaitkan dengan semesta (kehidupan di sekitar kita) sebagai sumber
penciptaanya, dan masyarakat pembaca sebagai penikmatnya. Menurut pendekatan
ini karya drama dapat dipahami hanya dengan membaca naskah itu sendiri.
Pendekatan
mimesis ialah pendekatan yang memandang karya drama sebagai hasil cipta manusia
yang ditulis berdasarkan bahan-bahan yang diangkat dari semesta (pengalaman
hidup penulis atau hasil penghayatan penulis atas kehidupan di sekitarnya).
Untuk itu, sebuah karya drama mustahil dipahami tanpa mengaitkannya dengan
semesta sebagai sumber penciptaannya. Dengan kata lain, untuk dapat memahami drama
secara mendalam diperlukan kegiatan mendialogkan secara terus-menerus antara
penghayatan dan pemahaman terhadap apa yang ditulis penulis dalam drama yang
dibaca dengan pengetahuan dan pengalaman hidup sang apresiator (Efendi, 2002:
11).
Pendekatan
genetis adalah pendekatan yang memandang karya drama sebagai hasil cipta
seorang penulis drama. Untuk itu pemahaman atas karya tersebut tidak mungkin
dilakukan tanpa mengaitkannya dengan si penulisnya itu sendiri. Dengan demikian,
untuk bisa memahami dengan baik dan mendalam sebuah naskah drama, sang
apresiator perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang penulis drama tersebut.
Pendekatan
pragmatis ialah pendekatan yang memandang karya drama sebagai sesuatu yang baru
bermakna kalau sudah berhadapan dengan masyarakat pembaca atau penonton. Karya drama
baru punya nilai kalau dapat diterima oleh masyarakat pembacanya. Agar dapat
diterima dengan baik oleh masyarakat pembaca, sebuah karya drama harus
mempunyai makna bagi masyarakat pembacanya, mempunyai manfaat tertentu bagi
pembacanya. Manfaat karya drama tersebut bagi masyarakat pembacanya antara
lain, menghibur, dapat memberikan tambahan pengetahuan atau pengalaman tertentu
kepada pembaca, atau dapat menjadi media berkaca diri bagi pembacanya.
F.
Kegiatan dalam Mengapresiasi Drama
Kegiatan
apresiasi drama secara umum dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yakni kegiatan
(1) apresiasi secara reseptif, dan (2) apresiasi drama secara produktif (Efendi,
2002:13). Dalam apresiasi drama secara reseptif fokus kegiatan adalah pada pemahaman
dan penghayatan karya drama. Sementara dalam kegiatan apresiasi drama secara
produktif fokus utamanya adalah pada pemahaman dan pemberian tanggapan terhadap
karya drama, misalnya dalam bentuk pemberian tanggapan secara tertulis.
Apresiasi
drama secara produktif lebih lanjut juga dapat dihubungkan dengan kegiatan
pementasan drama sebagai kegiatan yang bukan semata-mata bersifat produktif
tetapi juga rekreatif. Disebut juga bersifat rekreatif karena dalam pementasan
tersebut seseorang bukan sekedar berperan sebagai penikmat tetapi juga berperan
dalam mengkreasikan ulang karya drama dari karya naskah menjadi karya pentas.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Efendi (2002: 13).
Menurut
Efendi (2002: 13-14) mengatakan bahwa ditinjau dari aktivitas batiniahnya,
terdapat tiga tahapan pokok dalam mengapresiasi drama, yaitu (1) keterlibatan
jiwa sang apreisator, (2) pemahaman dan penghargaan terhadap cara-cara
penulisan yang digunakan oleh sang penulis, dan (3) pendialogan antara hasil
pemahamannya terhadap drama yang dibaca dengan hasil pengamatan, penghayatan,
dan pemahamannya terhadap kehidupan sekitarnya. Keterlibatan jiwa sang
apresiator ini penting agar sang apresiator dapat merasakan dengan baik ucapan
tokoh, pemikiran tokoh, tindakan, dan sikap tokoh dalam menghadapi perubahan
karakter tokoh, dan nasib yang dialami oleh seorang tokoh.
Pengahayatan
yang mendalam terhadap segala yang terjadi dan terdapat dalam karya drama
sebaiknya tidak membuat sang apresiator larut. Larut jiwa sang apresiator akan
membuat sang apresiator tidak bisa bersikap kritis terhadap apa yang dibacanya.
Larutnya kejiwaan hanya akan membuat sang apresiator menangis, tertawa, sedih,
atau jengkel, tetapi tidak mampu memberikan penilaian terhadap drama yang
dibacanya secara kritis dan objektif. Sementara itu, untuk mendapatkan
pemahaman yang utuh dan mendalam terhadap sebuah karya drama sikap objektif dan
kritis sangat diperlukan.
Sikap
objektif dan kritis hanya bisa dilakukan oleh sang apresiator kalau sang
apresiator tetap bisa menjaga kesadarannya selama membaca drama tersebut.
Sebab, dengan kesadaran yang penuh sang apresiator dapat selalu menggunakan
pengtahuan, pengalaman, dan pikirannya untuk menilai dan mengkritisi segala hal
yang ditemukan dalam drama yang dibacanya (Efendi, 2002: 14).
0 komentar:
Posting Komentar